Selamat Datang di Artikel Motivasi Sahabat Sejati



Kamis, 18 November 2010

Kisah Pedagang Sayur Ciputat Tiap Malam Menantang Maut

PADA saat pegawai kantoran beranjak pulang dari tempat pekerjaannya, Tumiyem (32) bersama beberapa temannya sudah bersiap-menunggu angkutan untuk berangkat menuju Bogor pukul 17.30 WIB. Sekitar pukul 22.00 WIB, ia sudah harus kembali ke Ciputat untuk menjajakan dagangannya. Tumiyem adalah salah satu dari se-
kian banyak bandar sayuran yang biasa mengais nafkah di Pasar Ciputat, Tangerang, Banten. Malam bagi Tumiyem adalah kehidupan yang harus dia jalani, sementara siang hari saat orang-orang sibuk bekerja, Tumiyem baru bisa memejamkan mata,
Pekerjaan yang ditekuni Tumiyem setiap malam tidaklah menyenangkan. Selain menantang maut karena ancaman kecelakaan, Tumiyem juga harus waspada terhadap gangguan dari orang-orang jahat. Namun semua itu harus dia jalani karena hanya pekerjaan inilah yang bisa dia jalani.
Mengenai alasan mengapa dia tidak belanja ke Pasar Induk Kramatjati, melainkan memilih Pasar Kembang TU, Bogor. Menurut Tumiyem, selain karena lebih murah dibanding harga di Pasar Induk Kramatjati, ada keuntungan lain bagi Tumiyem yakni memperoleh sayuran yang masih segar sesuai dengan keinginan para konsumennya.
Sebagai bandar sayuran, Tumiyem harus taat pada waktu. Dia yang memasok sayuran ke sejumlah pedagang keliling ke komplek-komplck pcnumahan, dan warung-warung itu sangat memegang komitmen pada perjanjian tidak tertulis dengan konsumenya. "Kalau mau belanja ya harus berangkat lebih sore mas, kan saya dan teman-teman harus pergi ke bogor, aku Tumiyem.
Sebelum menjadi penyalur sayuran bagi pedagang kecil, awalnya Tumiyem hanya mengikuti saudaranya berdagang. Namun, lama kelamaan dia berinisiatif untuk membuka usaha sendiri. Dan akhirnya rencana itu terwujud. "Yang penting kita harus berani memulai," katanya.
Banyak suka duka sudah yang dia lalui selama melakoni aktivitasnya sebagai penyalur sayuran. Salah satunya dia harus rela menahan kantuk demi mengais rezeki. Bersama suami, wanita asal Magelang, Jawa Tengah itu rutin melakukan aktivitas seperti itu setiap harinya. Bahkan, sudah bertahan selama lima tahun. Dari hasil keuntungan berjualan, Tumiyem baru bisa membiayai anaknya saja. Hingga saat ini, Tumiyem baru memiliki satu anak ini.
Tumiyem mengisahkan, dia harus mengeluarkan uang sejumlah Rp 120 ribu untuk membayar jasa angkutan umum yang membawa barang dagangannya. Untuk meringankan biaya atau ongkos angkutan, dia mengajak beberapa pedagang lain sehingga ongkos itu bisa dibagi rata, "Kita sudah
biasa berlangganan sama sopir angkutan itu. Jadi dia sudah tahu jadwal kami setiap harinya. Kalau berangkat kami naik angkutan dari Ciputat tetapi di sana sopir sudah siap mengantar kami kembali ke Ciputat," katanya. Selain ongkos angkutan, Tumiyem juga harus mengeluarkan biaya untuk kuli angkut.
Lain Tumiyem, lain pula Marni (50). Perempuan yang terbiasa menggunakan pakaian dengan corak batik saat berdagang itu mengaku lebih senangjika berbelanja di pasar induk Kramatjati. "Ya kalau saya di Kramat Jati, karena yang saya dagangkan buah-buahan bukan sayuran. Kalau di bogor terlalu jauh. Lagipula saya harus menyewa angkutan umum untuk membawa bclanjaan. Selain itu waktu tempuh ke Kramatjati lebih cepat dibandingkan dengan Bogor," ungkap Mami.
Untuk sekali perjalanan ke Kramatjati, dia harus merogoh koceknya untuk membayar para kuli panggul. Biasanya, ia memberikan Rp 70 ribu untuk satu orang. Rp 80 ribu untuk dua orang dan Rp 100 ribu untuk tiga orang. Jumlah uang tersebut dibayar hanya untuk mengangkut sayuran ke mobil pick-up yang telah ia sewa, ko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar