Rieke Diah Pitaloka
Dulu, sewaktu istrinya belum melahirkan, Nuar tak pernah cekcok dengan tetangga. Ia rukun-rukun saja, tanpa persoalan yang berarti. Namun, beberapa minggu sejak anak pertamanya lahir, hampir tiap malam Nuar harus beradu mulut dan bersitegang urat leher dengan tetangga-tetangga sesama penyewa rumah kontrakan. Betapa tidak? Saat bayi Nuar baru saja bisa tidur, selalu ada saja yang menyalakan sepeda motor. Bayi mungil itu sering kaget, lalu menangis dan menidurkannya kembali susah minta ampun. Sekali dua Nuar berusaha sabar, tapi lama-lama ia terpaksa menegur Pak Ardan yang seenaknya menyalakan mesin sepeda motor persis di samping kanan rumahnya. Motornya sudah sampai di pintu rumah, tapi mesinnya tidak juga segera dimatikan. Seketika itu juga bayi Nuar langsung mengeyak karena terkejut.
"Pak, bayi saya baru saja tidur. Lain kali kalau sudah dekat rumah, motornya dituntun saja, Pak."
"Maaf deh, Pak," balas Pak Ardan, tapi mukanya cemberut.
Tak lama setelah menegur Pak Ardan, Nuar kembali dikagetkan oleh raungan sepeda motor. Bunyinya serasa petir di telinga Nuar, dan lagi-lagi istri Nuar harus menggendong bayinya yang menangis karena terkejut. Bergegas Nuar menghampiri pemilik sepeda motor yang ternyata tamu Pak Sutar yang rumahnya persis di sebelah kiri kontrakan Nuar.
"Bang, ntar kalau mau nyalain motor, tolong agak jauhan dikit dari sini. Saya punya bayi."
"Oh Pak Nuar. Maafin ya, teman saya ini nggak tahu kalau di rumah Bapak ada bayi," sela Pak Sutar yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu.
Dengan wajah cemberut Nuar masuk karena bayinya makin rewel. Sementara itu, Pak Sutar seperti merasa bersalah pada tamunya yang baru saja kena tegur.
"Jangan diambil hati, Pak! Sirik aja tu orang. Gitu aja pake marah. Orang itu iri karena semua penghuni kontrakan di sini punya motor, kecuali dia."
"Sudahlah Pak Sutar, jangan diperpanjang lagi. Nggak apa-apa kok!"
Untuk beberapa saat Nuar bisa agak tenang. Ia dan istrinya bisa istrirahat karena bayi mereka mulai nyenyak tertidur. Tapi, tepat pukul dua belas malam, suara bising sepeda motor mulai mengusik lagi. Kali ini lebih keras suaranya. Semula Nuar hanya mengintip dari balik jendela, memastikan siapa gerangan yang masih belum tahu kalau di rumahnya ada bayi. Oh, ternyata itu suara motor salah satu penghuni kos-kosan yang jaraknya hanya beberapa meter dari kontrakan Nuar. Setelah Nuar menunggu beberapa lama, mesin motor itu belum juga dimatikan, malah sengaja gasnya seperti dimain-mainkan seperti montir di bengkel. Sekali lagi Nuar terburu-buru membuka pintu, lantas menghampiri pemilik sepeda motor sialan itu.
"Hei, lu pikir ini jalan milik nenek moyang lu, hah? Mau digebukin orang satu RT lu? Cepat matikan motormu!" begitu Nuar menggertak.
"Maaf Pak, maaf!"
"Maaf, maaf. Lu nggak denger anak gua bangun gara-gara motor lu? Brengsek!"
Begitulah masalah yang kini tengah dihadapi keluarga kecil Nuar. Sudah tak terhitung lagi berapakali ia ribut dengan tetangga-tetangga yang tidak toleran itu. Nuar sudah melaporkan masalah ini pada pemilik rumah kontrakan. Tapi, alih-alih beroleh pembelaan, pemilik rumah kontrakan dan tetangga-tetangganya menganggap Nuar iri dan sakit hati. Sebab, dari semua penyewa di rumah kontrakan itu hanya Nuar yang tidak punya sepeda motor.
Sebenarnya Nuar bukan tidak mampu membeli sepeda motor, cuma ia tidak mau. Nuar merasa tidak nyaman mengendarai sepeda motor di kota yang semrawut ini. Naik sepeda motor sama saja dengan merelakan diri untuk menghirup debu dan residu setiap hari. Dalam hal ini Nuar memang agak berbeda dari tetangga-tetangganya yang tak segan-segan berutang asal punya sepeda motor. Tak jarang, yang semula membangga-banggakan motor baru, kemudian harus menanggung malu karena sepeda motornya ditarik dealer. Cicilannya menunggak.
Bila Nuar mau, ia tak perlu mencicil, beli lunas pun Nuar mampu. Tapi, Nuar tak mau. Lagi pula ia belum terlalu butuh sepeda motor. Bagi Nuar, tinggal di rumah kontrakan untuk sementara saja. Kelak bila tabungannya sudah mencukupi, ia berniat membeli rumah sederhana yang lingkungannya jauh lebih ramah, toleran, dan saling menghargai. Bila perlu di lingkungan orang-orang terdidik, supaya anaknya bisa bergaul dengan anak-anak orang pintar, bukan dengan anak-anak orang goblok di lingkungannya saat ini.
Anehnya, beberapa minggu belakangan ini, Nuar tak pernah lagi cekcok dengan tetangga-tetangga gara-gara suara bising sepeda motor yang bikin kaget bayinya. Seberapa pun kuatnya raungan mesin sepeda motor di depan, sebelah kiri atau sebelah kanan rumahnya, Nuar tak pernah lagi tergesa keluar rumah untuk menegur atau bahkan menggertak orang yang tak punya otak itu. Istrinya, bayinya, bahkan ia sendiri tetap saja bisa tidur nyenyak. Hanya sesekali saja mereka bangun, itu pun kalau bayinya minta mimik atau ngompol. Sampai ada yang menduga, jangan-jangan Nuar memasang alat kedap suara di rumahnya.
"Pak Nuar, anaknya masih sering terganggu bising suara motor? Kalau iya, akan saya usir saja mereka!" tanya Haji Rosid, pemilik rumah kontrakan. Tumben orang ini peduli dan mau membantu Nuar. Oh iya, mungkin karena beberapa hari lalu istrinya juga melahirkan.
"Sama sekali tidak, Pak! Saya tidak merasa terganggu lagi," jawab Nuar
"Kenapa begitu? Anak bayi kan gampang kaget? Apalagi karena bising suara sepeda motor."
"Daripada tiap malam saya ribut dengan tetangga, mending saya ajari bayi saya menyesuaikan diri dengan kebisingan itu. Beres kan, Pak?" jelas Nuar. (*) Foto: www.togamas.co.id
©2010 VHRmedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar