Selamat Datang di Artikel Motivasi Sahabat Sejati



Kamis, 18 November 2010

Duka Dari Gerbong Kereta

doc.Fathoni Arief
doc.Fathoni Arief
Sudah lebih dari setengah jam aku menunggu di stasiun Lempuyangan
-salah satu dari dua stasiun besar di Yogyakarta, yang lain adalah stasiun Tugu. Stasiun yang hanya melayani kereta kelas ekonomi beda dengan Tugu yang melayani kereta kelas bisnis dan eksekutif. Seingatku saat terakhir kali naik kereta seharusnya jam setengah tiga kereta api jurusan Bandung-Surabaya ini sudah datang. Sekarang sudah jam tiga, tapi Kereta Api ekspress Pasundan yang kutunggu-tunggu belum juga datang - cerita lama, biasanya kereta terlambat dua jam mungkin biasa.“Kereta api Pasundan mengalami perubahan jadwal mas. Per-Februari kemarin tiba di stasiun Lempuyangan Jam tiga lebih lima” begitu jawaban petugas stasiun saat kutanyakan kejelasan jadwal kedatangan kereta tersebut.

Moga saja terlambatnya ngga nyampe dua jam, sekarang sudah jam tiga lebih seperempat, berarti udah lebih sepuluh menit. Apalagi bunyi-bunyian yang sedari tadi sebenarnya mulai kurasakan, ditambah rasanya yang melilit-lilit.
Kulihat dihadapanku berdiri seorang penjual nasi bungkus. Bungkusan berwarna coklat itu dari jauh seperti sudah melambai-lambai kepadaku. Melihatku berdiri sedari tadi si penjual berseliweran dan seperti mengerti apa yang tengah kufikirkan, menawarkan nasi bungkusnya. “Nasi rames mas! Masih hangat.” Nasi itu seperti melambai-lambai dan berkata : “Ayo beli aku! Ayo beli aku”.
Kucoba buka isi dompet, ternyata hanya ada selembar sepuluh ribu rupiah. Duit segitu takkan cukup bila sekarang harus tak kurangi lagi buat beli makan. Aku diam saja tak menanggapi tawaran penjual nasi. Dengan jumlah segitu saja aku harap-harap cemas, semoga saja sampai Kertosono tidak sampai ketinggalan kereta api terakhir jurusan Surabaya-Tulungagung.
Biasanya kereta Api ini sampai Kertosono jam sembilan malam, padahal kereta api Daha sampai sana sekitar jam setengah sembilan. Jika waktunya tepat aku hanya akan kehilangan uang tiga-ribu lima ratus buat beli tiket, kalau ternyata nanti tidak dapat Kereta terpaksa harus melanjutkan perjalanan sampai satisun Jombang. Dari Stasiun Jombang ke tempatku harus ganti naik bis, yang ongkosnya tujuh ribu rupiah. Dengan sangat terpaksa aku harus menahan rasa laparku sampai Tulungagung, walaupun sedari siang sepulang kuliah perut ini belum terganjal makanan dan bunyi-bunyi aneh sudah mulai terdengar.
Kereta yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Belum sampai kereta berhenti dengan sempurna calon penumpang sudah menyerbu berebut kursi. Diantara mereka nampak para pedagang yang membaur menawarkan barang dagangannya. Tak lama kemudian, kereta mulai berjalan meninggalkan stasiun ini. Perlahan tapi pasti kereta ini mulai menjauh dari stasiun Lempuyangan.
Disaat kereta mulai meninggalkan kota Yogya kurasakan pegal-pegal di badan ini. Dengan bersandar dan menikmati angin dari jendela tak sadar akupun tertidur, terlelap dalam dunia bawah sadarku. Aku menoleh kesamping ternyata aku kini sendiri. Masih teringat kejadian beberapa tahun saat perjalanan pulang ke tempat halaman. Sebuah cerita pernah terukir dalam gerbong kereta api ekonomi.
Jam enam tigapuluh kereta Api sudah memasuki stasiun Madiun. Aku terbangun ketika kurasakan ada tetesan air di atas kakiku. Mataku kubuka perlahan-lahan dan mencari asal tetesan air itu. Ternyata air yang mengenai kakiku adalah tetesan air dingin dari botol seorang penjual asongan. Melihatnya berada didepanku dengan botol-botol minuman itu membuatku tenggorokanku yang sudah kering ini semakin geli. Aku mencoba tahan sambil menelan ludah namun ternyata tak kuat juga dan harus menyerah.
“Mas, air minumnya berapaan?”
“Yang besar tiga ribu, yang kecil dua ribu“,
“Wah larang banget. Nggak bisa kurang mas? Yang kecil seribu lima-ratus”,
“Wah ngga’ bisa mas harganya sudah pas segitu”,
“Ya udah yang kecil saja mas satu” Penjual air minum itu memasukkan tangannya kedalam tas kresek yang dibawanya. Sebotol air minum kemasan kecil kini ada dalam genggamannya.
Tas dagangannya terlihat ringan, nampaknya hanya menyisakan beberapa botol air dalam kemasan.
“ Ini mas airnya”, Segera selembar uang sepuluh ribuan kuserahkan pada penjual itu.
“Ini adalah uang terakhirku”, begitu kata-kataku dalam hati.
“Ini kembaliannya delapan ribu rupiah mas”, Diserahkannya delapan lembar uang ribuan itu padaku. Kuambil uang itu dan segera kumasukkan dalam dompetku. Pedagang minuman itu bergeser mendekatiku, menaruh tas daganganya kebangku sebelahku, dan tak lama kemudian dia sudah duduk disampingku.
“Sampeyan mau pergi kemana mas?”, Tanyanya
“Mau ke Tulungagung” Kuamati penjual minuman itu, ia sedang menyeka keringatnya dengan handuk kecil. Setelah menyeka keringat-keringatnya yang bercucuran ia mengeluarkan isi dalam tas pinggangnya. Nampak ia mulai menghitung uang hasil daganganya, wajahnya nampak cerah dan begitu ceria. Mungkin saja hari ini ia sedang mujur, barang dagangannya laku banyak.
“Sudah lama jualan minuman gini mas?” Tanyaku Mendengar pertanyaanku segera ia masukkan uang hasil penjualannya. Sesaat kemudian ia palingkan pandangannya menuju kearahku. “ Maaf ada apa mas saya tadi nggak begitu dengar?
”Sudah lama jualan begini di Kereta Api?”
“Wah sudah sekitar sepuluh tahun yang lalu sejak saya lulus dari SMP, maklumlah mas saya dari keluarga tidak mampu jadi nggak bisa sekolah tinggi-tinggi” Tak lama kemudian penjual minuman itu mulai becerita tentang dirinya dan kisah-kisah masa lalunya.
Aku terus memperhatikannya sedang bercerita tentang semuanya. Penjual itu biasa dipanggil Cak Darmo oleh rekan-rekanya. Aktivitas dagangnya ia mulai sejak dari pagi hari, kebetulan rumahnya juga didekat stasiun. Ia tinggal didekat stasiun kecil setelah stasiun Nganjuk. Biasanya ia jualan dikereta jurusan Nganjuk-Madiun dan sebaliknya. “Biasanya dapat uang berapa dalam satu hari?”
“Ya nggak tentulah, kalau pas mujur ya dapat banyak. Kalau lagi sepi ya dapat sedikit. resiko pedagang asongan biasalah mas”.
“Oh ya mas sampeyan tadi asalnya dari Tulungagung ya?”
“Bener kang, Tulungagung asli. Memangnya kenapa kang?”
“Nggak, aku ini punya saudara yang tinggal disana. Kebetulan juga saat masih muda saya sempat tinggal disana”
“Memangnya dulu kerja di Tulungagung?”
“Iya mas dulu pernah kerja di perusahaan konveksi. Pagi kerja, malamnya nyantri disalah satu pesantren disana. Hidup didunia itu cuma sebentar mas, makanya mumpung masih muda harus banyak-banyak ilmu dan amal untuk bekal hidup”
Cerita Cak Darmo kini berganti topik. Dia secara fasih memaparkan bahasa-bahasa yang mungkin diri ini baru saja mendengarnya. Cak Darmo cerita mulai dari cuplikan beberapa ayat Al-Qur’an hingga Hadist. Satu bagian yang membuatku bergetar adalah saat dia bacakan terjemahan surat AL ‘ASHR; “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” Mendengar itu diri ini tersenyum kecut. Malu rasanya aku jadi sadar berapa waktuku yang selama ini terbuang begitu saja dengan sia-sia.
Aku semakin terkesan dengan Cak Darmo ternyata pengetahuannya tentang agama jauh lebih tinggi dari aku seorang yang notabene Mahasiswa. Aku terus terang malu pengetahuanku tentang ilmu Dien benar-benar begitu dangkal. Topik pembicaraan yang makin mengena ke diriku ini segera kualihkan. Kucoba mengalihkan topik pembicaraan ke yang lain.
“Sudah punya berapa putra Cak?”
Cak Darmo kemudian bercerita tentang keluarganya. Ia sudah menikah duapuluhlima tahun yang lalu dengan gadis pujaanya dari desa sebelah. Kini ia dikaruniai tiga orang anak. Anak pertamanya kini menginjak bangku SMU, sedangkan dua orang masih duduk dikelas tiga dan empat sekolah dasar.
Dari pengahasilannya sebagai seorang pedagang asongan ditambah pendapatan istrinya yang hanya seorang buruh pabrik ia harus cermat. Mengingat dengan tiga orang anak pengeluarannya untuk sehari-hari tidak bisa dianggap kecil. Begitulah cerita Cak Darmo, yang membuat diriku salut terhadap sosok penjual minuman itu. Ia dengan wajah yang cerah dan terus bersemangat, walaupun harus menanggung beban keluarga yang tidak bisa dianggap ringan. Cak Darmo salah satu kaum marginal yang selama ini jauh dari perhatian kita. “Sedari tadi kok yang cerita saya terus, sampeyan sendiri masih kuliah atau sudah kerja?” tanya Cak Darmo
Saya masih kuliah Cak,
“Kuliah dimana?”
Aku malu mendapat pertanyaan dari Cak Darmo, seharusnya aku yang diberi kesempatan untuk memiliki pendidikan tinggi tidak menyia-nyiakannya dan harus bisa berbuat lebih banyak. Cak Darmo saja yang cuma lulusan SMP pengetahuannya apalagi tentang agama begitu luas. Dengan menahan malu aku menjawab pertanyaan Cak Darmo.
“Aku masih kuliah di Jogja Cak”
“Wah bagus itu, jangan seperti saya yang hanya lulusan SMP sampeyan beruntung,
“Jadi makin malu aja aku Cak”
“Wah kuliah sekarang kata orang mahal banget ya! Katanya ada sumbangan-sumbangan segala. Aku nggak tahu apa anakku nanti bisa masuk sana.”
“Di Yogya sampeyan tinggal dimana mas?”
“Di Pogung Cak, daerah utara selokan Mataram”
“Sebenarnya aku punya keinginan pergi Yogya mas jalan-jalan mengajak keluargaku. Kalau ada rejeki pingin pergi ke pasar Beringharjo. Disana saya akan membelikan baju batik yang bagus dan sekali-kali membahagiakan istri saya,
“Lalu sudah kesana belum kang?”
“Ternyata Allah memang punya kehendak lain” Cak Darmo tertegun, dari cerita yang ia sampaikan terlihat rasa cintanya yang mendalam pada istrinya.
“Satu lagi yang perlu mas ingat, yang pasti nanti kalau sudah jadi orang jangan lupakan kami-kami ini dan ini yang penting jangan lupakan ilmu agama,
“Insya Allah Cak, doakan saja saya bisa berbuat lebih bagi orang lain,
“Pasti mas, ingat doanya orang kecil itu didengar Allah,
Jam delapan kereta tiba di stasiun Nganjuk dan saat itu pula Cak Darmo pamit, kami harus berpisah. Begitulah Cak Darmo begitu banyak hal yang kudapatkan dari beliau yang hanya seorang penjual asongan di kereta.
Pertemuanku dengan Cak Darmo membawa pengaruh yang luar biasa pada keseharianku. Tugas akhirku yang sempat mandek bisa aku lahap dengan lebih mudah. Seharusnya memang begitu, mengingat sekarang sudah semester kesebelas, jadi harus cepat-cepat lulus. Belum enam bulan ternyata studiku sudah tuntas.
Aku lebih cepat dua bulan dari yang aku targetkan. Betapa bahagianya diri ini, sekarang aku sudah menjadi seorang sarjana Teknik; Insinyur Teknik Sipil, walaupun Indeks Prestasiku tak terlalu tinggi tapi Insya Allah tapi tumbuh keyakinan selalu ada pintu rizki yang diberikan sang penguasa alam. Aku kembali teringat oleh sosok Cak Darmo. Besok aku berencana pulang menjemput orang tua buat persiapan wisuda.
Akan kusempatkan mencari penjual asongan yang bersahaja itu. Aku harus mengucapkan terima kasih. Sore nanti aku akan membeli kain batik terbaik di Pasar Beringharjo-seperti yang diinginkan Cak Darmo- buat kenang-kenangan sekaligus terima kasihku buat sosok rendah hati dan begitu bersahaja itu.
Stasiun demi stasiun telah dilewati oleh Kereta api Pasundan ini. Sebentar lagi sampai Madiun disana aku akan bertemu Cak Darmo. Aku tidak mau tertidur seperti dulu soalnya nanti bisa kelepasan tidak bertemu dengan pria penjual minuman itu. Jam Tujuh kurang empat Lima kereta sampai stasiun Madiun.
Aku segera bangkit dari tempat dudukku. Pandangan mataku tertuju keluar dari jendela kereta ini. Sudut demi sudut tersapu oleh pandanganku orang-demi orang kuamati ternyata dia tidak ada. Tak puas dengan pandangan kaki ini melangkah menyusuri gerbong kereta ini. Terus saja kususuri gerbong demi gerbong kereta itu, mulai dari depan hingga gerbong paling buncit, hingga akhirnya.
“ Cak Darmo! ‘’
“Ada apa mas, mau beli minuman?’ Jawab sosok yang kukira sebagai Cak Darmo Ternyata dia bukan Cak Darmo. Orang itu memang sama-sama penjual minuman dan posturnya begitu mirip tetapi aku salah orang. Penjual yang kupanggi tadi ternyata bukan Cak Darmo yang aku cari. Sebentar kemudian Kereta Api sudah mulai meninggalkan stasiun Madiun. Aku mulai putus asa, aku tidak menjumpai Cak Darmo.
Di tiap-tiap stasiun pandanganku selalu menoleh kiri dan kanan. Harapanku aku akan bertemu dengannya disana, ternyata sampai kereta sampai di stasiun Jombang sosok pria penjual minuman itu tak kujumpai.
Diteras depan rumahku aku bersantai sejenak melepaskan lelah setelah menjalani kelulusan. Lima tahun setengah menjalani studi memang cukup memeras keringat dan otakku. Enak juga rasanya santai sambil baca berita harian terbitan lokal. Koran ini memang terbitan dua minggu lalu, tapi masih lumayan buat bahan bacaan.
Bolak balik aku baca surat kabar itu, sampai ketika aku tertuju pada berita kecelakaan, “ Seorang penjual asongan yang biasa berjualan di kereta api jurusan Nganjuk- Madiun menjadi korban kecelakaan kereta. Kereta Api Logawa terguling dan 6 orang tewas termasuk 2 orang pedagang asongan.
Dadaku tersentak, seakan tak percaya aku baca sekali lagi berita itu dan kulihat sosok di koran itu. Sosok yang kujumpai di stasiun itu kini tak akan bisa kujumpai lagi. Kini hanya tersisa kain batik itu. Kain batik yang belum sempat kuberikan. Sosok yang bersahaja itu telah pergi menghadap sang pencipta untuk selama-lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar