Selamat Datang di Artikel Motivasi Sahabat Sejati



Selasa, 16 November 2010

Aku Terhempas Ke Lembah Hitam

Entah apa yang membawaku ketempat ini. Malam yang semakin larut di kota Jakarta yang tak pernah terlelap. Ku rasakan tubuhku semakin letih dan lelah, ku berjalan di lorong pertokoan di daerah mangga besar, Jakarta Barat. Jam telah menunjukan pukul 2.30 wib , ku kerahkan seluruh tenagaku untuk melangkah. Namaku Suratmi, aku tingggal di rumah kontrakan di daerah ini, hanya berada di belakang Lokasari Plaza. Aku tinggal bersama teman-teman seprofesi, tak banyak waktu kami habiskan bersama, karena kami sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Segala letih dan lelah tak ku hiraukan, demi anak dan ibuku yang telah tua renta yang berada di kampung halaman.
“Walo harus melacur?”
“Kenapa ga coba cari pekerjaan lain aja sih?”
“Melacurkan dosa Ratmi!!”
Kata-kata Rina yang masih terngiang di telingaku. Bukan aku tak takut dosa, tapi karena aku tak punya pilihan. Percakapan kami pada beberapa waktu yang lalu itu membuat hatiku tidak tenang. Rina seorang gadis berjilbab yamg aku kenal belum lama ini. Dia seorang gadis yang baik, sopan dan ramah. Dia bekerja sebagai seorang penjaga kasir pasar swalayan di Lakasari. Rina banyak memberiku nasihan-nasihat kehidupan, walau umur kami tak berbeda jauh tapi dia nampak lebih dewasa.
Rina memang tidak sekolah tinggi hanya lulusan SMA, tapi dia jauh lebih beruntung dari pada aku. Aku hanya lulusan SD, SMP pun aku tidak tamat. Semenjak Ayahku meninggal pendapatan keluarga kami jadi memburuk. Ibuku yang hanya seorang penjual sayur-sayuran di pasar. Adikku satu-satunya meninggal karena sakit keras dan kami tak mampu membawanya berobat. Aku pun tidak bisa melanjutkan sekolah, karena tak ada biaya dan karena aku harus membantu ibu jualan. Pada usiaku 15 tahun aku dinikahi oleh seorang guru Madrasa di kampungku. Kehidupan kami pun membaik, mas Tejo begitu sayang pada aku dan ibuku. Di usia 5 bulan pernikahan kami, aku mengandung, dan kami pun di karuniakan anak laki-laki yang tampan.
Aku sangat bahagia saat itu, walau hidup kami sangat pas-pasan namun kami hidup sejahtera dan harmonis. Keluarga kecil dan sederhana bukanlah alasan bagiku untuk tidak bahagia. Aku bangga dengan suamiku, walau dia hanya lulusan Madrasah tapi dia pria yang soleh. Banyak hal yang dia ajarkan padaku, karena aku memang tidak paham benar tentang agama.
Hari itu  suamiku di mintai untuk mengisi acara ceramah di kota lain.
“Dek mas pergi dulu ya?” Kata mas Tejo sebelum Sebelum berangkat.
“Assalamualaikum”.
“Wa’alaikumsalam”, jawabku sambil tersenyum.
Tak pernah kusangka hari itu adalah hari terakhir ku melihatnya, mencium tangannya dan melihat senyuman manisnya. Hari yang membawaku ke dalam mimpi buruk, sungguh ku tak pernah ingin mengingat hari itu. Lagi-lagi ku kehilangan orang paling ku cintai, bis yang ditumpangi suamiku setelah pulang memberi ceramah mengalami kecelakaan dan jatuh kejurang, tak ada yang selamat dalam kecelakaan itu termasuk suamiku. Ketikaku mendengar berita itu ku hanya terdiam, hariku terasa hancur berkeping-keping.
Kehidupan kami kembali memburuk, anakku yang baru berumur 2 tahun harus hidup tanpa ayahnya.
“Bu, aku mau ke Jakarta!” kataku pada Ibu.
“Ke Jakarta?mau apa kamu kesana?”
“Aku mau cari kerja bu, si Wati ngajak aku kerja disana, gajinya lumayan bias buat kita hidup”.
“Kerja apa kamu disana?dan gimana dengan anakmu?mau kamu bawa?”
“Wati bantu-bantu di rumah orang kaya, katanya gaji lumayan gede. Ya Agus ndak aku bawa, nanti yang ada malah ganggu aku kerja.”
“Ya udah biar ibu yang warat anakmu, Sampai kamu kembali ya nduk.”
“Kamu hati-hati ya di kota sana.”
Aku pun berangkat ke Jakarta dengan penuh harapan, Wati membawaku kesebuah agen pembantu dan kemudian aku dikirim ke rumah dimana tempat aku akan bekerja. Bulan-bulan pertama memang begitu berat bagiku karena aku memang belum berpengalaman menjadi pembantu rumah tangga, tapi aku berusaha keras untuk bisa melayani majikanku dengan baik.
Hari-hari berjalan terasa semakin berat, majikanku tak seperti yang aku harapkan. Nyonya majikan yang begitu sulit aku pahami dengan emosinya yang turun-naik. Siksaan demi siksaan ku alami dengan tabah, ku coba bertahan tanpa ku ratapi demi orang-orang yang ku cinta. Bulan-bulan berikutnya majikanku semakin menjadi-jadi gajiku selalu saja dipotong dengan berbagai alasan. Aku merasa semakin tak mampu menahan segala hinaan dan juga fitnah dari majikanku. Suatu ketika nyonya kehilangan uang dan langsung saja menuduhku pencurinya.
“Ratmi…Ratmi…” Teriakan nyonya
Iya Nyah ada apa?”
“Eh dasar orang kampung, kamu berani-beraninya ngambil uangku!”
“Dasar maling…”
“Ndak nyah, saya ndak ngambil uang nyonya…”
Belum selesai ku membela diri, tamparan keras ku rasakan di pipiku. Ku tak bisa berkata apa-apa ku hanya menangis dan memohon ampun. Setelah hari itu hidupku semakin tersiksa, majikan semakin bertindak seenaknya, dan selalu mengancam akan membawaku ke polisi jika aku melawan. Hatiku semakin hancur, ku tak tahan menahan segala rasa penghinaan ini. Ku putuskan untuk kabur dari rumah itu.
Aku memang orang kampung, aku tak kenal kota Jakarta yang keras. Tak ada kerabat atau teman yang aku kenal, yang aku kenal hanya Wati teman sekampungku dulu. Tapi aku tak pernah berjumpa dengannya sejak aku bekerja di rumah itu. Kini ku tak tahu harus kemana, ku tak punya uang untuk kembali ke kampung. Karena semua gajiku selalu aku kirim ke kampung dan gaji terakhir belum dikasihkan. Tak ada tempat berteduh dan tidur, aku kelaparan dipinggir jalan.
“Loh mba kenapa tidur disini, kan dingin malam-malam begini. Ikut aku ketempatku aja yuk!” Kata seorang wantia yang berdiri di depanku. Itu pertama kaliya aku berjumpa dengan Nita yang kini menjadi teman seprofesiku dan teman satu kontrakanku. Hasratku untuk merubah hidup membawaku ke dunia yang gelap tanpa ujung. Kini ku terdampar tak berdaya, dalam hati kecil ku ingin sekali keluar dari dunia ini. Tapi apakah mungkin? apakah masih tempat untukku di luar sana?
Kebimbangan dalam hatiku kini yang membuatku tak tahu arah mana yang akan ku ambil. Ku inginkan kehidupan yang jauh lebih baik. Demi orang-orang yang aku cinta, demi ibu dan anakku, segalanya aku korbankan untuk membahagiakan meraka. Aku tak ingin meraka tahu apa yang ku kerja kan selama ini, ku tak ingin meraka tahu kegagalanku di kota ini. Tapi Rina selalu berusaha membantuku untuk keluar dari dunia yang gelap ini.
“Ratmi… sebaiknya kamu mencari pekerjaan lain”, kata Rina sore tadi.
“Iya aku pun maunya begitu tapi aku dapat kerja dimana? Aku Cuma lulusan SD Rin.”
“Ya kebetulan bibiku yang tinggal di pasar minggu lagi butuh orang bantu dia di warung nasinya, memang gajinya tak seberapa tapi aku rasa itu awal yang baik untuk mu” jelas Rina dengan sabar.
“Sebaiknya kamu cepat-cepat bertobat Rat!”
“Tobat?”
“Apa dosa-dosaku akan di ampuni?”
“Rat Allah itu maha pengampun, kalo kamu benar-benar tobat insyAllah di ampuni segala dosa dan kekhilafanmu.”
“Bagaimana dengan masyarakat? Apa mereka bisa menerimaku?”
“Kenapa tidak? Mereka pasti bisa.”
“Rin, kamu tahu aku ini siapa, kamu mungkin bisa terima aku tapi mereka…”
“…mereka belum tentu bisa”
“Loh memang kenapa? Menurutku kamu orang baik, dan tak ada alasan untuk tidak memberikan kamu kesempatan kedua”
“Ya… Karena aku seorang pelacur Rin, mereka akan jijik jika melihatku dan juga meghinaku”
Nafasku tersengal, airmata mengalir tanpa ku sadari, rasa takut dan bersalah dengan apa yang telah ku perbuat. Tapi Rina selalu ada untukku, selalu meyakinkan bahwa niatku untuk keluar dari dunia yang gelap ini adalah keputusan yang tepat.
“Sudahlah Ratmi, yang penting kamu usaha dulu ya, dan tenang saja, aku tidak akan cerita apa-apa pada bibiku tentang profesimu ini, jadi kamu bisa kerja dengan tenang.”
Hingga ku putuskan untuk pergi dari dunia gelap ini dan memulai hidup baru. Aku sungguh beruntung berteman dengan Rina, gadis yang sopan dan baik hati. Ku ingin merubah kehidupanku yang gelap tanpa arti ini. Semoga masih ada tempat untukku disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar