Selamat Datang di Artikel Motivasi Sahabat Sejati



Minggu, 21 November 2010

Kenali 11 Karakter Mertua

Konon, hubungan mertua-menantu perempuan selalu diwarnai konflik. Nah, bagaimana caranya agar kita terhindar dari konflik tersebut? Kenali karakter mertua Anda!
PENUH PERHATIAN
Mertua dengan karakter ini biasanya amat penuh perhatian dan kelewat peduli pada cucu. Bila hidup tak serumah, hampir setiap saat ia menelepon sekadar menanyakan apakah cucunya sudah makan, lauknya apa, tidur jam berapa, dan sebagainya. Bila kita sedikit keras pada anak, justru kita diomeli dan dinasihati panjang lebar. Selama tak "mengganggu", tentu curahan perhatian dari nenek boleh-boleh saja karena malah akan memperkaya anak secara emosional.
Tapi jika limpahan kasih sayangnya berlebihan atau malah menyesatkan, kita perlu waspada. Soalnya, pendidikan anak usia balita mutlak menjadi tanggung jawab orang tua. Lagi pula, anak akan bingung bila ada dua "peraturan" berbeda atau bahkan bertentangan. Ia butuh kejelasan, mana yang baik dan tidak, mana yang boleh dan tidak. Psikolog Ieda Poernomo Sigit Sidi menyarankan agar kita mengkaji nasehatnya sekaligus introspeksi diri. Bisa jadi kita memang salah atau kelewat keras pada anak. Bukankah kita masih dalam proses belajar menjadi orang tua?
"Bila yakin prinsip Anda benar, jangan ragu untuk membicarakannya. Tunjukkan sikap santun dan hindari kesan menggurui. Bila perlu mintalah bantuan suami." Katakan, misalnya, "Ibu, maaf, bukan maksud kami bersikap keras pada anak. Tapi kami pikir, dia pun harus belajar disiplin agar tak tumbuh jadi anak manja. Kami khawatir dia nanti susah mandiri." Pokoknya, Anda harus berpikir jernih dan jauhkan prasangka.
SOK KUASA
Tak sedikit, lo, mertua yang ngotot berusaha masuk dalam rumah tangga anaknya dengan berbagai cara. Maunya selalu ikut campur dalam segala hal; dari soal menu yang harus tersaji, pengasuhan anak, sampai mengurus suami. Bahkan, baju apa yang pantas dan tidak untuk kita kenakan pun dicampurinya juga. Nyebelin , kan? "Modal" untuk terhindar dari pengaruh buruknya adalah punya rumah sendiri. "Entah cicilan, kontrak atau apapun namanya, karena hanya itulah satu-satunya cara agar Anda dan suami bisa mengelola keluarga sendiri," tutur Ieda yang tak setuju status kontrak atau ukuran rumah yang kecil dijadikan alasan. "Justru itulah tantangan hidup Anda. Ingat, rumah tangga milik Anda berdua. Anda berdualah yang menentukan akan diapakan dan dibawa ke mana," lanjutnya.
Dengan pindah rumah, selain dapat mengeliminir pengaruh kurang baik dari mertua dan keluarga besar, kita pun jadi punya banyak kesempatan berduaan dengan suami untuk membicarakan banyak hal mengenai keluarga. "Bila selalu ada intervensi mertua, kapan kesempatan semacam itu akan muncul?" ujar Ieda. Bila mungkin, kemukakan pada suami bahwa Anda tak suka mertua terlalu mengatur dan mencampuri urusan rumah tangga. "Tentu Anda harus pandai-pandai memilih kata karena ibu mertua tetaplah ibu dari suami Anda. Bukankah bila ibu Anda dikritik suami, Anda pun pasti tak suka?"
"TUKANG" NGERUMPI
Kita perlu ekstra hati-hati dan wajib menjaga jarak dengannya. Bila tidak, kita mesti tahan berjam-jam mendengarkannya mengoceh tentang segala hal, terutama kejelekan anak, menantu, atau cucunya yang lain, hingga terkesan seperti mengadu domba. Kita pun harus mampu menahan diri untuk tak menimpali ocehannya. Apalagi sampai ikut-ikutan menjelek-jelekkan mereka, misalnya, "Oh, iya, Bu, si Anu memang begitu orangnya. Saya juga enggak suka sama dia." Tentunya kita tak ingin ikut-ikutan jadi pribadi bermasalah dan mendatangkan masalah buat orang lain, kan? Makanya, pesan Ieda, kenali dengan siapa kita menikah, kenali pula siapa ibunya.
RAJIN MENGELUH
Boleh jadi si mertua memang "hobi"nya mengeluh dan terus mengeluh. Pokoknya, tiada hari tanpa keluhan; yang sakitlah, nggak punya duitlah, suami bikin jengkel, menantu pelit, cucu bandel, pembantu bebal, dan sebagainya. Melelahkan sekali bukan bila harus meladeni mertua begini? Tak menanggapi pun bisa-bisa dianggap menantu tak tahu diri. Saran Ieda, kitalah yang harus mencoba menyesuaikan diri. Kenali kepribadian dan kebiasaan ibu mertua. Dari situ kita bisa mengenali pola komunikasi yang cocok bila berhadapan dengannya, sehingga kita tahu kapan dan bagaimana harus menanggapi keluhannya. "Anda harus memposisikan diri di tempat netral dan obyektif."
MATA DUITAN
Biasanya ia suka berkomentar, "Mantuku yang satu itu baik banget. " Lo, kenapa begitu? "Dia ngerti,  deh. Sebelum diminta, pasti udah ngasih ." Lalu, apakah yang tak pernah memberi atau cuma mampu memberi sedikit bisa dikategorikan menantu nggak baik? Belum tentu, kan? Mertua model ini, terang Ieda, mengganggap anak sebagai investasi sehingga selalu menuntut imbalan dan jasa. Sampai anaknya mau kawin pun, ia tetap akan berhitung njlimet  apa saja untung ruginya, "Aku akan tetap dapat jatah enggak, ya, kalau anakku beristrikan dia?" Ia mengukur baik-tidaknya menantu dari seberapa sering dan besar "upeti" yang diberikan kepadanya. Berbeda dengan ibu yang menganggap anak sebagai amanah, justru menolak pemberian anak sekaligus menasehati untuk menabung.
"Bila Anda memang mau dan mampu, silakan terus memberinya uang dan membanjirinya dengan aneka hadiah super mahal." Tapi bila keberatan, "buat kesepakatan dengan suami untuk menyampaikan seberapa besar kesanggupan Anda membantu." Tapi bukan besarnya gaji suami atau istri yang perlu mereka ketahui, lo, karena itu, sih, rahasia dapur Anda berdua. "Jangan pernah memberi kesempatan siapapun masuk ke bilik yang paling rahasia ini."
Kerap kali, mertua model ini juga suka membanding-bandingkan antara anak/menantu yang satu dengan anak/menantu lain. Ingatkan beliau, peruntungan dan rejeki setiap orang tak akan pernah sama. Secara halus atau bergurau, ingatkan pula agar tak membanding-bandingkan siapa pun dengan tolok ukur benda-benda duniawi. "Tak ada yang harus dipersaingkan karena rumah tangga memang bukan arena bersaing," kata Ieda. Sampaikan dengan hati-hati agar tak terkesan "menuduh" hingga membuatnya tersinggung. Lagi pula, tak ada keharusan untuk memberi kepada mertua. "Kalau Anda tak bisa memberi apa-apa, hanya datang silaturahmi juga enggak apa-apa, kok. Bukankah yang terpenting ikatan persaudaraan?"
PILIH KASIH
Jika suami kita merupakan anak kesayangan, hampir bisa dipastikan, kita pun ikut "ketiban" kasih sayang ibunya. Kita akan diperlakukan istimewa sebagaimana si ibu memperlakukan anak lelakinya. Tapi kalau suami kita bukan anak "emas" ibunya, bersiap-siaplah untuk juga "dimantutirikan". Menurut Ieda, yang bisa menetralisir sikap pilih kasih mertua sebetulnya anak atau si menantu kesayangan. Nah, bila Anda si menantu kesayangan, sampaikan dengan nada santai, misalnya, "Ibu, kalau saya yang datang, kok, jadi repot banget . Sementara kalau si adik atau kakak anu, kok, tidak. Jangan gitu, dong , Bu. Mereka, kan, sama-sama anak Ibu juga."
Tunjukkan Anda tak mau diperlakukan istimewa ataupun ikut-ikutan membanding-bandingkan. Pokoknya, jangan biarkan pangkat dan harta ikut masuk dalam urusan keluarga, yang ada hanyalah status kita sama-sama sebagai anak. Bila keadaan kurang menyenangkan ini tak mungkin lagi diubah atau diperbaiki sementara kita adalah menantu yang di"tiri"kan, saran Ieda, terimalah keadaan itu dengan besar hati. "Tak perlu sakit hati atau tersisih. Jika kedatangan Anda cuma jadi 'pengganjal' pintu depan, ya, sudahlah, tak perlu berakrab-akrab di dalam. Tak usah Anda permasalahkan bila memang demikian keinginan mertua." Jangan lupa, amati di mana posisi kita di mata mertua.
"Jadi, kalau kehadiran Anda dianggap mengganggu, Anda pun boleh memilih tak pergi ke rumah mertua daripada datang hanya untuk menambah sakit hati." Tapi jangan pernah melarang suami untuk mengunjungi ibunya. "Anda harus memberi kesempatan pada suami dan ibunya untuk tetap menjalin hubungan ibu-anak, karena hubungan semacam ini tak bisa tergantikan dan bersifat abadi," terang Ieda. Adakalanya mertua model ini juga mata duitan. Sekalipun kita bukan menantu kesayangannya, tapi kalau kita kerap memberinya uang, mengajaknya jalan-jalan ke tempat-tempat yang ia suka, menghadiahinya dengan barang-barang mewah, dan sebagainya yang berkaitan dengan uang, biasanya ia akan baik sekali sama kita. Tapi sekali saja kita tak melimpahinya dengan uang, ia kembali pada sikapnya semula, "memantutirikan" kita.
Tapi ada juga, lo, yang nggak mempan "disogok". Bila demikian, tak sedikit menantu yang akhirnya selalu "bernyanyi", "Huh, Ibu, sih, kalau dari saya berapapun banyaknya nggak  pernah akan ada cerita. Tapi kalau dari mantu kesayangannya, sedikit saja dikasih, ceritanya sampai ke mana-mana, diomongin nggak  habis-habis." Nah, bila Anda termasuk yang demikian, Ieda mengingatkan, "ngasihnya  ikhlas enggak? Kalau memang iklas, ya, sudah, jangan dipertanyakan atau diungkit-ungkit." Ieda minta, kita harus berpijak pada pemikiran dasar untuk tak membanding-bandingkan atau berkompetisi. Jika tidak, "Anda akan selalu berorientasi pada hasil, 'Kalau saya ngasih uang segini, saya dapat apa, nih? Bakal disayang atau tidak?' Kita jadi terbiasa mengharapkan imbalan dan bila tak sesuai pasti kecewa. Rasa kecewa inilah yang kemudian bertumpuk menjadi ganjalan yang menghambat perkembangan selanjutnya," jelas Ieda.
ACUH TAK ACUH
Selagi kita dibelit masalah,jangankan memberi nasehat atau jalan keluar, mertua model begini cuma berkomentar pendek, "Yaa... begitulah orang berumah tangga. Pinter-pinter nya kamu, deh , gimana  mengatasinya." Ia pun jarang telepon apalagi datang berkunjung. Jikapun kita yang menelepon atau berkunjung ke rumahnya, tanggapannya biasa-biasa saja. Pokoknya, komunikasi serasa enggak jalan karena cuma searah hingga kita menilainya sebagai sosok yang tak peduli.
Menurut Ieda, sebetulnya malah enak punya mertua cuek. Ia merasa tugasnya mengurus anak sudah selesai. Sekarang saya bersibuk diri dengan dunia saya, teman-teman saya, dan hobi saya. "Anda sama sekali tak boleh berujar, 'Si nenek udah tua tapi masih jalan-jalan, senang-senang sendiri, dititipi cucu enggak mau.' Wong , itu hak dia, kok!" Jadi, tandasnya, kita harus menjunjung tinggi prinsip tak saling mengganggu. "Singkirkan rasa tak enak hati. Anda pun harus menghargai privacy -nya. Biarkan ia menikmati hidupnya dengan dunianya sendiri."
B ERMULUT MANIS
Di depan kita, ia rajin obral pujian dan kata-kata manis. Tapi begitu di belakang kita, segalanya berubah total. Seperti kata pepatah, lain di bibir lain di hati, begitulah mertua model ini, munafik! Sebagai anak, tutur Ieda, kita dan suami wajib mengingatkan beliau. Tentu dengan cara-cara santun karena orang tua tetap manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan. "Tak perlu kecut menghadapinya. Kaji kembali opini yang membuat orang terjerat dalam ketakutan akan durhaka terhadap ibunya." Karena bila kita tak menegur atau mengingatkannya, kita justru membiarkan si ibu terperosok lebih jauh ke dalam hal-hal yang tak benar. Sekaligus membiarkannya menjadi api dalam sekam bagi hubungan sesama menantu dan ipar.
NEMPEL TERUS SAMA ANAK
Kasus seperti ini biasanya erat berkaitan dengan status anak; entah tunggal, bungsu atau anak kesayangan. Lantaran tak rela berpisah dengan anak istimewanya itulah, kita sebagai menantu pun ikut-ikutan "disandera" untuk tinggal di rumahnya. "Sampaikan terima kasih Anda bisa tinggal di situ karena memungkinkan Anda menabung agar bisa beli rumah sementara anak-anak pun tak lepas kendali," saran Ieda. Tapi tekad memiliki rumah sendiri harus terus dibicarakan dengan suami. Perlu dicari cara tak mencolok yang dapat mengundang prasangka dan memojokkan Anda semisal, "Tuh , kan, kamu juga yang 'ngeracunin'  anakku supaya pindah dari sini." Jikapun harus tetap serumah, minta ijin agar ada pemisahan dapur. "Istri harus belajar memasakkan makanan untuk suami dan anaknya. Biarkan menu-menu baru tersaji di meja makan. Jadi, tak harus menu favorit mertua."
SOK TAHU
Apakah Anda sering ditegur kala berbuat atau melakukan sesuatu untuk suami? Misalnya, "Suamimu, tuh , nggak  suka sayur asem, tapi kenapa kamu malah masak sayur asem?" Kali lain, "Kamu, kok, beli kaos model begini? Dari dulu suamimu enggak suka pakai kaos yang banyak gambarnya. Gimana, sih, kamu ini?" Pendeknya, kita sering kena tegur mertua karena dianggap nggak ngerti selera suami, seolah-olah cuma beliaulah yang tahu persis anak lelakinya. Menurut Ieda, sikap mertua yang "sok tahu" ini disebabkan ia merasa yakin kenal betul siapa dan apa saja mengenai anaknya, karena sudah sekian lama anak lelakinya berada dalam asuhannya. "Perasaan memiliki secara berlebihan pada diri mertua terhadap anak lelakinya merupakan salah satu pemicu utama konflik mertua-menantu," tuturnya. Toh, Ieda menganggap wajar perasaan tersebut.
"Wong , ibu, kok, yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak." Sayangnya, orang sering lupa bahwa tugas orang tua cuma mendidik, membesarkan dan mengantarkan sekaligus melepaskan si anak memasuki rumah tangganya sendiri. Tentu saja, sangat tak adil bila harus menilai, membanding-bandingkan apalagi menghakimi menantu dengan kacamata mertua. "Mertua sudah sekian lama bersama si anak, sementara menantu pendatang baru. Yang satu sudah kenal luar dalam, yang lainnya justru baru mulai kenal. Yang ini sudah harus melepaskan, yang itu baru mau menerima.
Pendek kata, yang satu sudah ahli, yang lain baru belajar. Jelas tak mungkin diperbandingkan, dong!" Seringkali mertua model ini juga bersikap sok tahu terhadap hal-hal lainnya, termasuk pengasuhan anak. Menantu dianggapnya sosok yang tak tahu dan tak bisa apa-apa. Semuanya serba salah di mata mertua. Konyolnya, mertua model ini cuma bisa menilai dan melecehkan tanpa pernah memberi kesempatan pada menantunya untuk belajar. Padahal, menantu betul-betul butuh dukungan dan kesempatan untuk belajar membina rasa percaya diri menjadi seorang istri sekaligus ibu. Menurut Ieda, peran suami sebagai jembatan sekaligus kunci sangat menentukan pola penyelesaikan konflik mertua-menantu. Jika suami bilang pada istrinya, "Kamu, kok, gitu  aja tersinggung? Ibu, kan, biasa ngomong begitu," maka istri akan merasa diabaikan. Jangan lupa, yang biasa buat mertua belum tentu biasa buat menantu. Dari sisi menantu, saran Ieda, "cobalah berpegang teguh pada prinsip Anda. Jangan hiraukan kala ia melecehkan pola pengasuhan Anda, misalnya, selama Anda menganggap apa yang Anda lakukan itu yang terbaik buat anak."
PENUH PENGERTIAN
Mertua begini, kata Ieda, harus dianggap sebagai karunia yang patut disyukuri. Saat suami tugas ke luar kota, misalnya, ia langsung menawarkan Anda dan anak-anak tinggal di rumahnya agar lebih "aman". Atau menyuruh Anda dan suami berlibur, "Biar anak-anak sama Ibu. Kalian senang-senanglah." Saat tahu Anda hamil, ia juga yang "heboh" duluan dengan menyiapkan segala keperluan si kecil hingga Anda tinggal terima beres saja.
Pendeknya, jika ia tahu kita butuh sesuatu, tahu-tahu kebutuhan itu dipenuhi. Asyik, kan? Kata Ieda, kita tak perlu risih atau berhutang budi sepanjang segala pemberiannya tulus sebagai ungkapan sayang terhadap keluarga anaknya. "Itulah berkah hidup bersaudara." Jadi, sekalipun pemberiannya kurang berkenan di hati lantaran perbedaan selera, "Andalah yang mesti pandai-pandai menenggang rasa." Yang penting, jangan biarkan diri kita terlena oleh segala kebaikannya. Jangan sampai kita terjebak memanjakan keluarga dengan memanfaatkan kebaikannya. Sebagai Tempat Penitipan Anak, misalnya. Mertua bukan babysitter buat si kecil Anda lo. "Ingat, anak, keluarga dan hidup Anda merupakan tanggung jawab Anda, bukan mertua Anda!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar