Selamat Datang di Artikel Motivasi Sahabat Sejati



Selasa, 16 November 2010

cahaya harus punya bayangan, sebab tanpa bayangan maka itu bukan cahaya

Sewaktu mas Abi menjadi pimpinan di padepokan pada awal kepemimpinannya, mas Abi menerima laporan tentang orang aneh yang hidup di sebelah padepokan yang berbatasan langsung dengan hutan kawasan Cipanas. “Jangan pedulikan kabar angin itu,” kata teman mas Abi sesama pengurus. “Itu Cuma orang gila yang mengurung dirinya di sebuah gubug dan mungkin sebentar lagi meninggal.”
Tetapi ada sesuatu yang timbul dalam sanubari mas Abi. Dipanggilnya pengurus agar berkumpul lalu berangkat mencari orang aneh tersebut. Setelah beberapa waktu, rombongan tiba di tempat terbuka, tidak jauh dari jalan yang melintasi hutan. Ditengah-tengah tempat terbuka  ada sebuah gubuk dari ranting dan kardus bekas dan dibuat asal-asalan. Mas Abi menghampiri gubuk tersebut, tidak ada pintu disitu yang nampak hanya sebuah jendela kecil agar udara bisa masuk.
“Siapa yang ada di dalam?” tanya mas Abi
“Seseorang yang bukan berasal dari dunia ini,” jawab seseorang denga suara lemah Mas Abi terdiam sebentar, berpikir sejenak, lalu berkata lagi, “Aku ingin berbincang-bincang denganmu, siapapun juga kau itu. Sebagai tetangga, marilah keluar untuk berbicara.”
“Aku tidak punya tetangga. Biarkan aku sendiri,” kata suara itu
“Tetapi kau tidak punya makanan, begitu pula air minum, kau tentu butuh bantuan,” kata mas Abi.
“Aku tidak butuh bantuanmu,” kata orang itu.
Setelah itu ia tidak mau mengatakan apa-apa lagi. Para pengurus memohon agar mas Abi pergi saja dari situ. Mereka merasa kikuk karena mas Abi menaruh minat terhadap orang gila. Namun mas Abi memerintahkan agar siapapun yang tahu-menahu tentang orang itu agar dicari dan dibawa kehadapannya. Beberapa pengurus mencari ke perkampungan terdekat lalu kembali membawa seorang wanita berpakaian compang camping.
“Ini istrinya,” kata seorang pengurus yang menjemput wanita yang nampak bingung dan ketakutan itu.
“Tenang sajalah, Saya hanya ingin membantu suami ibu,” kata mas Abi. Wanita itu masih gemetar ketakutan, tetapi ia menjawab,” Bapak sudah tidak lagi menyebut saya istrinya. Pak Mahmud – itu namanya- bersumpah akan tetap tinggal dalam keadaan terkurung sampai ia meninggal atau menerima petunjuk dari Tuhan.”
“Apa sebabnya?” tanya mas Abi
“Duka cita, pak. Kami pernah punya seorang anak laki-laki yang sangat dicintainya, melebihi segala yang ada di dunia ini. Suami saya bekerja sebagai pencari ranting kayu untuk dijual ke pasar. Pada suatu hari bapak masuk ke hutan bersama anak kami yang waktu itu berumur enam tahun. Bapak lantas mulai bekerja, dan ketika bapak sedang sibuk-sibuknya, anak itu pergi dengan diam diam. Kami memanggil dan mencarinya sampai bingung. Kemudian sehari setelah itu tubuh anak kami ditemukan hanyut di sungai. Ia meninggal tenggelam, dan suami saya tidak bisa memaafkan dirinya sendiri.”
Mas Abi sedih mendengar cerita itu. “Duka cita bukanlah merupakan alasan untuk membunuh diri sendiri,” kata mas Abi.
“Saya juga mengatakan begitu,” jaawab sang ibu malang. “Tetapi bapak sudah bersumpah bahwa sampai Tuhan sendiri datang untuk mengatakan apa sebabnya anak kami diambil oleh-Nya, ia akan mengutuk dunia ini dan tidak mau berurusan dengan dunia.  “Sepanjang hidupku aku sudah melihat jenis penderitaan yang oleh Tuhan dibiarkan saja terjadi,” kata pak Makmud, “ Dan sekarang aku tidak mau lagi berurusan dengan hal hal seperti  itu. Jika Ia tidak muncul untuk menjelaskan alasan-Nya, maka jika aku matipun tidak ada bedanya.’ Karena itulah dia terus di gubuk ini.”
Penuturan wanita itu sangat mengharukan, namun mau tak mau pandangan aneh dari pak Mahmud terhadap Tuhan menimbulkan keinginan tahu mas Abi. “Benarkah cerita istrimu ini?” tanyanya, diarahkan kepada orang yang ada di dalam gubuk . Sebgai tanggapan hanya terdengar suara mendengus.
“Aku akan bermalam disini dan berbincang-bincang dengan orang malang ini,” kata mas Abi, lalu menyuruh rombongan pulang ke padepokan. Mereka enggan meninggalkan mas Abi sendiri di dalam hutan. Akhirnya mas Abi menyuruh mereka berkemah agak jauh dari tempat itu. Malampun tiba, malam yang gelap gulita tanpa bulan diangkasa. Mas Abi duduk disamping gubuk, menyelimuti diri dengan jaket tebal untuk menangkis kelembaban hawa malam.
“Dalam beberapa segi, saya merasa lebih dekat dengan bapak daripada siapapun di padepokan,” katanya terarah kepada orang yang di dalam gubuk. Saya baru sebagai pemimpin padepokan, dan sangat merasakan penderitaan yang ada di sekitar saya. Orang miskin, sakit dan cacat ada dimana-mana, tetapi derita mereka juga penderitaanku, selama saya menjadi pemimpin mereka. Pada  malam hari saya tidak bisa tertidur karena memikirkan cara melenyapkan hal-hal buruk di dunia ini. Nampaknya saya harus mengerahkan seluruh hidup dan harta saya untuk memerangi kemalangan yang saya lihat disekeliling saya, namun ibarat padi yang disemai dimusim hujan, benih-benih kesengsaraan akan tumbuh lagi dua kali lebih lebat.”
“Aku menunggu Tuhan,” kata orang yang didalam menyela dengan tiba-tiba. “Aku tidak perlu mendengar pidatomu. Biar DIA sendiri yang memberi jawaban.”
“Baiklah,” kata mas Abi. “Tetapi biarkan ini menjadi urusan saya, yaitu bahwa saya melihat diri saya di dalam diri bapak. Saya pernah punya guru bernama Abah, dan beliau mengatakan bahwa ada satu penyelesaian terhadap kemalangan, yaitu jangan dilawan- yaitu menyadari bahwa pada hakekatnya kemalangan itu tidak ada.”
“Omong kosong,” kata suara dari dalam. “Carilah guru lain.”
“Bapak perlu mendengarkan lebih lanjut,” kata mas Abi berkeras. “Abah mengatakan bahwa kebaikan dan keburukan senantiasa bertarung. Keduanya lahir sekian juta kurun kehidupan yang lalu. Dan selama ada cahaya dan bayangan, kebaikan dan keburukan akan selalu ada.”
“Kalau begitu halnya, kau seharusnya putus ada dan mengurung dirimu bersamaku di gubuk ini karena kau sudah melihat sejati dari Tuhan terhadap dunia ini. IA menghendaki kita menderita,” kata suara itu getir.
“Saya pernah lama berperasaan begitu, tetapi kemudian Abah menunjukkan kepada saya ada dua jalan dalam kehidupan. Dengan menempuh jalan yang satu manusia berupaya meraih anugerah surga, dan jika ia menjalani kehidupan yang saleh, ia akan mencapai tujuannya. Tetapi bahkan disurgapun ada benih benih ketidakpuasan, dan akhirnya terdorong rasa bosan, atau karena takut tidak layak diterima disurga, seseorang bisa saja lantas beranjak mulai menempuh  arah yang berawanan. Ia akan terbenam dan akhirnya masuk neraka. Jika ada surga maka nerakapun harus ada. Tetapi keduanya bersifat sementara, karena lama kelamaan orang akan bosan terhadap siksaan dan muai naik lagi. Dengan begitu jalan pertama yang bisa dipilih suatu jiwa merupakan jalur  bolak balik, senantiasa beranjak dari surga ke neraka lalu balik lagi ke surga.”
“Jika yang kau katakan itu benar, maka selain terkutuk kita ini juga dipermainkan,” kata suara itu dengan lebih getir lagi. “Siapa yang bisa mencintai seorang ayah, yang bisa menyodorkan surga hanya untuk mengembalikan kita ke neraka?”
“Bapak  benar,” kata mas Abi. “ Abah mengetengahkan hal yang sama. Namun kemudian diberitahukannya kepada saya jalan kedua. Kunci kejalan ini adalah kesadaran bahwa surga dan neraka adalah merupakan hasil ciptaan kita sendiri, bahwa kitalah yang menyebabkan terjadinya gerak bolak balik itu. Kita percaya akan dualitas, harus ada keburukan sebagaimana adanya kebaikan, sebagaimana cahaya harus punya bayangan, sebab tanpa bayangan maka itu bukan cahaya. Apabila telah menyadari hal ini kita bisa melakukan pilihan lain.”
“Yaitu…?”
“Menolah prinsip dualitas, menolak surga dan neraka. Dibalik permainan hal-hal yang saling berkebalikan, menurut Abah ada alam keabadian cahaya murni, keadaan murni, cintak asih murni. “segala urusan tentang kebaikan dan keburukan ini,’ katanya’ jangan kau teruskan kesia-siaan itu, seperti anjing yang mengejar ekornya sendiri dan beranjaklah menjauhinya.’ Saya tidak tahu bagaimana pendapat bapak, tetapi bagi saya itulah pesan Tuhan. Jika Tuhan harus muncul dihadapan kita, maka itu melalui pengertian kita sendiri tentang apa yang merupakan hal yang memungkinkan. Kemauan kita bebas, dan kita bisa mengikat diri kita sendiri untuk selama-lamanya pada siklus kesenangan dan derita. Tetapi kita juga bebas untuk pergi meninggalkan sklus itu dan tidak pernah menderita lagi.”
Mas Abi berhenti berbicara. Tetapi ia merasa  betapa anehnya berbicara seperti itu kepada manusia malang yang belum pernah dijumpainya. “Maafkan perbuatan saya, secara paksa mencampuri duka cita bapak.” Katanya kemudian. “ Saya pergi sekarang.” Orang yang di dalam gubuk itu tidak menjawab.
Mas Abi sendiri membungkus tubuhnya lebih rapat lagi dengan jaketnya, lalu beranjak masuk ke dalam hutan. Ia baru saja beranjak beberapa  meter ketika ia merasakan kehangatan di punggungnya dan mendengar kobaran api. Timbul kecemasan bahwa orang yang terganggu pikirannya itu membakar gubuknya sendiri. Mas Abi berpaling dan berlari kembali kearah gubuk. Tiba-tiba ia tertegun.
Gubuk itu menjadi gumpalah cahaya putih menyilaukan dan dari gumpalan cahaya itu, terdengar suara “Tuhan benar bahwa manusia tahu bahwa Tuhan bukan hanya ada di surga melainkan jauh diseberangnya, di alam semangat murni.” Setelah itu cahaya itu menghilang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar