Selamat Datang di Artikel Motivasi Sahabat Sejati



Sabtu, 01 Januari 2011

“jangan pernah berhenti untuk saling menasehati!”

Sore itu matanya terlihat sembab. Bekas aliran air mata di pipinya tak mampu ia sembunyikan dari hadapan saya. Ia menunduk sebentar, mengusap kedua matanya kemudian tersenyum, berpura-pura ceria seakan tak terjadi apa-apa. Tapi ia tak bisa menipu saya. Saya tahu ia habis menangis. Tangis apa itu awalnya saya tak tahu. Maka saya tanya ia “menangis kenapa?”. Ia menjawab”tangis haru mengingat cinta kasih ibunda padaku. Setelah melihat seorang ibu yang memeluk anaknya di taman itu aku rindu ibu, rindu kasih sayangnya, rindu nasehat-nasehatnya”. Dan Azan maghrib pun mengalun sendu bersama ketakjubanku terhadap lembut hatinya.
Di lain waktu seorang diantara kita pernah terhenyuh hatinya melihat pengemis kecil-hitam- kumal di jalanan yang sebenarnya setiap hari ia lalui. Dalam batin ia berandai; Oh, seandainya dunia ini tak menyisakan kepedihan, kenestapaan, seandainya semua orang hidup bahagia. Namun kenyataan berkata lain dan itu ia tak bisa pungkiri. Ia pun paham bahwa sebenarnya ini kesempatannya untuk berbagi. Maka ia keluarkan lembaran-lembaran dari poketnya. Kali ini bukan hanya recehan seperti biasanya. Toh ia masih punya banyak lembar lainnya yang lebih mahal warna dan nominalnya. Sungguh menakjubkan karena ia baru tahu bahwa berbagi ternyata lebih nikmat dari pada membeli hanya sekedar demi kepuasan sendiri.
Kita pun pernah lihat bagaimana seorang pemuda yang tenggelam hari-harinya dalam dosa dan kehampaan. Namun suatu ketika sebuah nasehat menusuk hatinya, mengisi relung-relung jiwanya. Ia tersungkur, ia bertaubat. Dan kini ia adalah penyebar kebaikan dan kasih sayang kepada manusia.
Sebaliknya. Kita pernah pula lihat seorang yang keras hatinya. Beribu-ribu nasehat telah melintasi telinganya. Beratus-ratus musibah peringatan telah mewarnai hari-harinya. Berjuta-juta detik dalam hidupnya telah terpuaskan oleh kegalauan karena dosa, kedurhakaan dan ketidakpedulian kepada Pencipta juga kepada sesama. Namun ia tak juga sadar. Ia tutup matanya, ia sumbat telinganya ia bungkam suara hatinya, ia bunuh nu-ra-ni-nya sen-di-ri. Hatinya keras bagai batu.
Namun ingat! Batu pun perlahan dapat terkikis hanya oleh tetesan air yang lembut. Maka saya katakan:

“jangan pernah berhenti untuk saling menasehati!”
Tuan dan Puan sekalian yang saya sayangi. Tak lengkap rasanya tulisan singkat ini jika tanpa pertanyaan yang bagus untuk kita ajukan kepada diri kita sendiri:
Lembut atau keraskah hati kita ini?
Bukankah kita ingin cepat pintar memahami kejadian, merenungi nasehat, memaknai kehidupan, menuju kematian?!
Kita tak ingin jadi orang tuli-nurani dan bebal hati. Benar, kan?????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar